Jangan Berkhayal
Jangan sampai engkau berhayal, yang mana di antaranya adalah engkau mengaku mengetahui sesuatu yang tidak engkau ketahui, atau mengaku menguasai sesuatu yang sebenarnya tidak engkau kuasai. Jika engkau melakukan itu, niscaya akan menjadi tabir tebal yang menghalangimu dari mendapatkan ilmu.
Ini benar … terkadang ada sebagian orang yang memperlihatkan dirinya seakan-akan dia itu seorang ulama yang luas wawasannya. Kalau dia ditanya, maka akan diam sebentar seakan-akan sedang merenung, kemudian dia mengangkat kepala seraya berkata, “Terdapat dua pendapat dalam masalah ini.”
Janganlah engkau mengaku menjadi seorang ulama yang bisa memberi fatwa, padahal sebenarnya engkau tidak mempunyai ilmu sama sekali. Karena, perbuatan ini adalah kebodohan dan kesesatan. Oleh karena itu, Syaikh berkata, “Jika engkau melakukan itu, niscaya akan menjadi tabir tebal yang menghalangimu dari mendapatkan ilmu.”
Jangan Sampai Engkau Menjadi “Abu Syibr” (yang Dangkal Ilmunya)
Dikatakan bahwa ilmu itu ada tiga tingkatan, barang siapa yang berada pada tingkatan pertama, maka dia akan sombong, dan barang siapa yang berada pada tingkatan yang kedua, maka dia akan tawadhu’, dan barang siapa yang berada pada tingkatan ketiga, maka dia akan mengetahui bahwa dirinya itu tidak punya ilmu.
Orang yang pertama itu sombong karena belum mengenal hakikat dirinya. Orang kedua bersikap tawadhu’, namun dia masih memandang dirinya sebagai orang yang berilmu, sedangkan orang yang ketiga akan mengetahui bahwa dirinya itu bodoh, yang tidak mengetahui apa pun. Namun, yang ketiga ini apakah dia itu terpuji atau tercela? Jikalau engkau memandang bahwa dirimu itu orang yang bodoh, maka sudah pasti engkau tidak akan berani untuk berfatwa. Oleh karena itu, sebagian pelajar tidak pernah bisa bersikap tegas, dia selalu brkata, “Masalah ini tampaknya demikian atau ada kemungkinan bermakna demikian.” Oleh karena itu, selagi Allah Ta’ala memberikan ilmu kepadamu, maka anggaplah dirimu sebagai orang yang berilmu, tegaslah dalam menjawab sebuah masalah, jangan jadikan orang yang bertanya menjadi korban banyak kemungkinan, jika itu engkau lakukan maka engkau tiak akan bisa memberi faedah kepada orang lain, namun orang yang tidak memiliki ilmu yang mapan, maka seharusnya dia mengaku tidak mempunyai ilmu.Sudah Menyampaikan Ilmu sebelum Mempunyai Keahlian
Hindarilah menyampaikan ilmu sebelum punya keahlian, karena itu merupakan cela dalam ilmu dan amal. Dikatakan: “Barang siapa yang menyampaikan ilmu sebelum waktunya, maka sungguh dia telah menjatuhkan dirinya dalam kehinaan.”
Termasuk hal yang wajib untuk dihindari adalah menyampaikan ilmu sebelum dia memiliki keahlian untuk hal itu. Karena, perbuatan itu adalah sebagai bukti atas beberapa hal.
- Perasaan ta’ajjub pada dirinya sendiri, dikarenakan dia memandang dirinya sebagai seorang yang berilmu.
- Itu menunjukkan kebodohannya serta ketidakpahamannya dalam menghadapi masalah ini, dikarenakan apabila orang lain melihat dia sudah berani menyampaikan ilmu, maka mereka akan menanyakan kepadanya banyak masalah yang nantinya akan membongkar kedoknya.
- Kalau dia menyampaikan ilmu sebelum punya keahlian pasti dia akan mengatakan atas nama Allah sesuatu yang tidak dia ketahui, karena kebanyakan orang yang punya maksud dan tujuan seperti ini, dia tidak peduli meskipun harus menghancurleburkan ilmu itu sendiri dan yang penting dia menjawab semua pertanyaan.
- Seseorang itu apabila sudah menyampaikan ilmu kebanyakan tidak lagi mau menerima kebenaran, karena dengan kebodohannya dia menyangka bahwa jika dia tunduk kepada orang lain meskipun dia benar adalah bukti bahwa dia bukan orang yang ahli dalam bidang ilmiah.
Pura-Pura Pandai
Hati-hati terhadap apa yang dijadikan penghibur oleh orang-orang yang bangkrut dalam dunia ilmiah, yaitu dia mempelajari satu atau dua masalah, lalu apabila dia berada di majelis ilmu yang di dalamnya ada orang yang terpandang, maka dia selalu melontarkan dua permasalahan tadi. Betapa seringnya perbuatan seperti ini menimbulkan cela, setidak-tidaknya orang lain akan mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Saya telah menerangkan permasalahan ini dan yang semisalnya dalam kitab At-Ta’alum.
Ada seseorang yang datang bertanya kepada seorang ulama yang terkenal dengan keilmuannya tentang suatu masalah yang dia sudah membahasnya dan menelitinya dengan berbagai dalil dan silang pendapat antara para ulama yang ada. Lalu dia berkata kepada seorang ulama yang hebat: “Apa pendapatmu tentang masalah begini dan begitu?” Lalu, apabila si ulama menjawab, “Haram,” misalnya, maka dia pun mengatakan, ‘Lalu, bagaimana dengan sabda Rasulullah yang berbunyi demikian, juga bagaimana dengan ucapan imam Fulan demikian.” Lalu, dia pun melontarkan dalil-dalil yang tidak diketahui oleh ulama tersebut, karena seorang ulama sekalipun tentu tidak dapat menguasai semua masalah. Tujuan orang itu adalah ingin menunjukkan bahwa dirinya lebih pandai daripada ulama tersebut. Dari sini, maka orang-orang awam akan membicarakannya, “Kemarin si Fulan berada di Majelis ulama Fulan, lalu dia tidak bisa menjawab pertanyaannya.”
Ini terjadi pada sebagian ulama dan penuntut ilmu pada saman ini, dia memiliki ilmu tertentu seperti menekuni kitab nikah dan menelitinya dengan baik, namun kalau dia beralih ke bab jual beli yang letaknya sebelum kitab nikah, dia sama sekali tidak mengetahuinya. Banyak orang sekarang yang pura-pura pandai dalam ilmu hadits, dia berkata, “Si Fulan meriwayatkan dari Fulan, dan dalam hadits ini ada sanad yang terputus, dan sebab terputusnya adalah demikian.” Namun, kalau engkau tanya dia tentang salah satu ayat Al-Qur’an, dia tidak bisa menjawabnya.
Hanya Mengisi Kekosongan Kertas
Sebagaimana engkau juga jangan sampai menulis kitab yang tidak bermakna serta tidak memenuhi delapan tujuan karya tulis, yang paling terakhir adalah jangan menulis hanya untuk mengisi kekosongan kertas. Maka, hati-hatilah dari menulis sebuah kitab sebelum engkau benar-benar ahli dan sudah memperoleh alat-alatnya secara sempurna serta sudah matang secara ilmiah dalam bimbingan para gurumu. Karena, engkau akan menulis sebuah cela dan menampakkan kehinaan pada dirimu.
Adapun bagi orang-orang yang memang sudah ahlinya, dan sudah sempurna ilmunya serta banyak ilmu yang diketahuinya dengan mempelajari kitab-kitab yang besar dan menghafal kitab yang kecil, juga dia bisa mengingat semua permasalahannya, maka menulis sebuah kitab baginya adalah perbuatan yang sangat mulia sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama.
Jangan lupakan ucapan Al-Khathib al-Baghdadi, “Barang siapa yang menulis kitab, maka berarti dia telah menjadikan akal pikirannya dalam sebuah nampan yang dia tawarkan kepada orang lain.”
Syarat-syarat yang disebutkan oleh Syaikh ini tidak mungkin terpenuhi pada saat ini. Karena, saat ini kita banyak menemukan beberapa kitab yang ditulis oleh orang-orang yang tidak dikenal sebagai ulama. Seandainya engkau menelaah apa yang mereka tulis, akan engkau dapati bahwa kitab itu tidak keluar dari orang yang sudah mapan keilmuannya, hanya berisi banyak nukilan yang kadang-kadang disandarkan pada yang mengakatannya dan terkadang tidak. Yang penting kita tidak terlebih dahulu berbicara tentang niat, karena niat itu hanya Allah yang mengetahuinya, namun kita katakan, “Tunggulah waktunya … tunggulah waktunya.”
Kalau nanti engkau sudah memiliki ilmu dan kemampuan, maka berilah ulasan kitab-kitab tersebut dengan sebaik-baiknya, karena memang sebagiannya belum terdapat dalil-dalilnya secara lengkap.
Sikap Anda terhadap Kesalahan Para Ulama Terdahulu
Apabila engkau mendapatkan kesalahan seorang ulama, maka janganlah engkau senang untuk bisa merendahkan martabatnya, namun senanglah karena engkau bisa membenarkan kesalahannya. Karena, orang yang jujur akan mamastikan bahwa tidak ada seorang ulama pun yang lepas dari kesalahan dan kealpaan, terutama ulama yang banyak karya ilmiahnya.
Tidak ada orang yang senang untuk meremehkannya dengan kesalahan ini kecuali orang yang berlagak pandai, orang semacam ini ingin menyembuhkan sakit pilek malah mengakibatkan sakit lepra.
Ya … memang harus diingatkan kesalahan atau kelalaian seorang ulama yang sudah dikenal tentang keilmuan dan keutamaannya, namun jangan sampai hal itu berakibat mengurangi kehormatannya yang akan bisa membuat orang lain terpedaya.
Sikap seseorang terhadap kesalahan para ulama, baik yang hidup sebelumnya atau yang semasa dengan dia ada dua cara. (1) Meluruskan kesalahannya. Seseorang wajib mengingatkan sebuah kesahalan orang lain meskipun dia seorang ulama besar, baik dia hidup semasa dengannya atau sebelumnya, karena menjelaskan kesalahan seseorang adalah hal yang wajib. Dan, jangan sampai menghilangkan sebuah kebenaran hanya karena menghormati orang yang mengatakan kebatilan, karena menghormati kebenaran itu lebih diutamakan. (2) Terkadang ada orang yang menyebutkan kesalahan ulama semasanya atau yang sebelumnya dengan tujuan membongkar aibnya, bukan untuk mnejelaskan kebenaran. Ini hanya terjadi dari orang yang punya penyakit hasad dalam hatinya. Dia berharap bisa menemukan sebuah pendapat yang lemah atau kesalahan orang lain, lalu dia menyebarkannya di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, engkau jumpai ahli bid’ah melecehkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, mereka mencari-cari sesuatu yang paling bisa digunakan untuk mencelanya, lalu mereka menyebarkannya dan menghinanya. Mereka katakan, “Ibnu Taimiyah menyelisihi ijma’ tatkala mengatakan bahwa thalaq tiga sekaligus dihitung satu. Ini adalah pendapat yang aneh, dan barang siapa yang berpendapat aneh (sendiri), maka dia akan masuk neraka. Dia juga menghukumi bahwa seorang suami jika mengatakan kepada istrinya: “Engkau saya cerai,” maka dia harus membayar kaffarah (denda) sumpah, padahal dia tidak bersumpah sama sekali dan hanya mengatakan, “Jikalau engkau berbuat begini, maka engkau saya ceraikan.” Ibnu Taimiyah juga mengatakan bahwa Allah masih terus berbuat, dan pendapat ini mempunyai konsekuensi bahwasannya ada yang qadim selain Allah, karena semuanya ini terjadi dengan perbuatan Allah, maka jika perbuatan Allah itu qadim, maka yang terjadi akibat perbuatan itu pun qadim, sehingga dengan demikian dia telah mengatakan adanya dua ilah. Juga ucapan semisalnya yang mereka ambil dari sebagian ketergelinciran beliau, lalu mereka menyebarkannya di tengah-tengah masyarakat. Padahal, yang benar dalam semua masalah ini adalah beliau. Namun, karena mereka itu adalah orang yang hasad lagi pendendam–na’udzubillaah min dzalik–maka lain lagi urusannya.
Oleh karena itu, sikapmu terhadap kesalahan ulama sebelummu hendaklah didaari dengan tujuan mencari kebenaran. Karena, barang siapa yang tujuannya mencari kebenaran, maka akan diberi taufiq untuk menerima kebenaran tersebut. Adapun orang yang bertujuan untuk membongkar kesalahan orang lain, seperti orang yang mencari-cari kesalahan saudaranya, maka orang semacam itu akan dicari-cari kesalahannya oleh Allah. Dan barang siapa yang dicari-cari kesalahannya oleh Allah, maka Allah akan membongkar aibnya walaupun dia sembunyi di dalam rumah ibunya.
Orang yang jujur adalah orang yang mampu berkata adil. Orang semacam ini kalau menelaah ucapan para ulama niscaya akan mengetahui bahwa tidak ada seorang ulama pun kecuali mempunyai kesalahan dan kelalaian, terutama orang yang banyak menulis karya-karya ilmiah dan banyak berfatwa. Oleh karena itu, sebagian orang berkata, “Barang siapa yang banyak berbicara, akan banyak kesalahannya, dan barang siapa yang sedikit bicaranya, akan sedikit kesalahannya.”
Menolak Syubhat
Jangan jadikan hatimu seperti bunga karang laut yang bisa menerima apa pun yang mendatanginya. Hindarilah syubhat pada dirimu, juga orang lain, karena syubhat itu sangat menyambar-nyambar dan hati itu lemah, dan orang yang paling banyak menebarkan syubhat adalah para ahli bid’ah, maka hati-hatilah terhadap mereka.
Ini adalah wasiat yang disampaikan oleh Imam Ibnu Taimiyah kepada murid beliau, Imam Ibnul Qayyim, beliau berkata, “Jangan jadikan hatimu seperti bunga karang laut, yang bisa menerima semua yang masuk padanya, namun jadikanlah seperti kaca bersih, dia bisa menampakkan apa yang ada di belakangnya tanpa harus terpengaruh dengan apa pun yang mengenainya.”
Kebanyakan orang tidak mempunyai ketetapan hati dan dia selalu memikirkan berbagai syubhat. Alangkah benarnya perkataan para ulama, “Seandainya kita menuruti berbagai syubhat aqliyah, maka tidak akan ada satu pun nash yang selamat, pasti semuanya menjadi ragu-ragu dan penuh dengan berbagai kemungkinan. Oleh karena itu, para sahabat Nabi mengambil makna zhahir Al-Qur’an dan As-Sunnah dan tidak merenung sambil berkata, “Kalau ada yang bertanya begini bagaimana?”
Berjalanlah sesuai dengan zhahir Al-Qur’an, karena yang zhahir itulah pokok makna Al-Qur’an. Tatkala engkau melihat sejarah Rasulullah bersama para sahabatnya, niscaya akan engkau jumpai bahwa mereka memahami sesuatu sesuai dengan zhahirnya. Saat Rasulullah mengatakan kepada para sahabat bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir, apakah mereka mengatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara turun Allah? Apakah langit itu cukup bagi-Nya? Apakah mereka menanyakan seperti itu? Tidak …!
Oleh karena itu, saya nasihatkan kepada kalian agar jangan memikirkan hal-hal tersebut, terutama sekali pada masalah ghaib, karena akal manusia akan bimbang kalau terus memikirkannya dan tidak akan pernah mengetahui hakikatnya. Biarkanlah dia sesuai dengan zhahirnya. Katakan: “Kami dengar dan kami imani serta kami percayai.” Karena, yang ada di balik itu masih lebih besar lagi. Inilah sebenarnya yang selayaknya dilakukan oleh penuntut ilmu.
Hindari Kesalahan
Jauhilah lahn (kesalahan), baik dalam kata-kata maupun tulisan. Karena, kata-kata dan tulisan yang disampaikan tanpa kesalahan akan nampak agung dan bersih. Juga akan nampak manisnya sebuah makna yang terpancar dari kata-kata indah tanpa salah. Umar bin Khaththab mengatakan, “Belajarlah bahasa Arab, karena itu akan menambah kewibawaanmu.” [1] Diceritakan bahwa para ulama salaf terdahulu biasa mumukul anak mereka karena kesalahan bahasa. Imam Al-Khathib al-Baghdadi meriwayatkan dari Ar-Rahabi, beliau berkata, “Saya mendengar sebagian sahabat kami berkata, ‘Apabila ada seseorang yang sering salah menyalin tulisan dari tulisan orang y ang sering salah, dan tulisan itu juga disalin oleh orang yang sering salah, maka jadilah tulisan itu bahasa Persia’.” [2]
[1] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab (1765) dan Al-Khathib al-Baghdadi dalam Al-Jami’ (1067).
[2] Lihat Al-Jami’ (1064).
Al-Mubarrid berkata:
“Ilmu nahwu bisa membetulkan lisan orang yang salah.
Dan orang akan dihormati apabila dia tidak salah bicara.
Apabila engkau menginginkan ilmu yang paling utama.
Maka yang paling utama adalah yang bisa meluruskan lisanmu.”
(Bait syair ini bukan ucapan Al-Mubarrid, namun ucapan Ishaq bin Khalaf al-Baharani. Lihat Al-Kamil [II/536-537]).
Dari sini, maka jangan percayai ucapan Al-Qasim bin Mukhaimirah rhm., “Belajar nahwu itu awalnya hanya akan menyibukkan diri dan berakhir dengan kezaliman.”
Juga, jangan percayai ucapan Bisyir al-Hafi rhm. tatkala ada yang berkata kepadanya, “Belajarlah ilmu nahwu.”
Dia menjawab, “Nanti saya akan tersesat.”
Dia berkata lagi, “Katakanlah ‘Ali telah memukul ‘Amr.”
Bisyr berkata, “Wahai saudaraku, kenapa ‘Ali memukulnya?”
Dia menjawab, “Wahai Abu Nashr (panggilan Bisyr al-Hafi) ‘Ali tidak memukulnya, namun ini adalah sebuah kaidah dasar yang dijadikan contoh.”
Maka, Bisr pun berkata, “Berarti ilmu ini awalnya adalah kebohongan, saya tidak membutuhkannya.”
Kedua kisah ini diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam kitab Iqtidha’ al-‘Ilmi al-‘Amal.
Aborsi Pemikiran
Hindarilah aborsi pemikiran, yaitu melahirkan buah pikiran sebelum matang.
Maknanya, janganlah engkau tergesa-gesa menyampaikan ilmu yang engkau dapatkan, terlebih-lebih kalau masalah yang akan engkau sampaikan itu berbeda dengan pendapat kebanyakan ulama atau menyelisihi kandungan dalil lain yang shahih, karena sebagian orang ada yang ingin menempuh jalan pintas, tatkala dia dapati sebuah hadits, maka dia akan langsung mengambilnya, meskipun hadits tersebut dha’if (lemah) dan bertentangan dengan hadits yang shahih, kemudian menyampaikannya kepada khalayak umum, sehingga mereka menyangka bahwa dia telah mencapai sebuah tingkatan ilmu yang belum dicapai oleh selainnya. Oleh karena itu saya katakan, “Jika engkau melihat sebuah hadits yang menunjukkan kepada sebuah hukum yang menyelisihi hadits-hadits yang shahih, yang seharusnya jadi landasan inti hukum dan diterima oleh umat, maka janganlah engkau tergesa-gesa menyampaikannya, demikian halnya jika hadits tersebut menyelisihi pendapat jumhur, jangan tergesa-gesa engkau mengatakannya. Namun, jika memang itulah yang benar, maka engkau wajib menyampaikannya.
Israiliyyat Gaya Baru
Hindarilah israiliyyat gaya baru yang sengaja dihembuskan oleh para orientalis dari kalangan Yahudi dan Nasrani, karena hal itu lebih berbahaya daripada israiliyyat zaman dulu. Israiliyyat yang ada pada zaman dahulu ini telah jelas urusannya bagi kita dengan penjelasan dari Rasulullah dan keterangan para ulama. Adapun israiliyyat gaya baru yang merasuki pemikiran Islam seiring dengan majunya kebudayaan dan era globalisasi, ini adalah kejelekan yang nyata dan serangan yang sangat mematikan. Sebagian umat Islam saat ini sudah menjadikannya sebagai jalan hidup, adapun yang lainnya ada yang tunduk patuh padanya. Oleh karena itu, berhati-hatilah jangan sampai engkau terjerumus ke dalamnya. Semoga Allah melindungi umat Islam dari keburukannya.
Yang dimaksud oleh Syaikh di atas adalah pemikiran-pemikiran yang merasuki tubuh umat Islam lewat orang-orang Yahudi dan Nasrani. Ini bukanlah israiliyyat yang berupa berita, namun ini berupa sebuah pemikiran yang banyak masuk pada kitab sastra atau lainnya. Di antara pemikiran ini ada yang masuk pada masalah muamalah, ibadah, serta pernikahan. Sehingga, ada sebagian orang yang mengingkari poligami, padahal banyak para ulama yang mengatakan bahwa poligami itu lebih utama daripada monogami. Mereka mengingkari poligami dan mengatakan bahwa syariat ini hanya untuk masa lampau. Orang semacam itu tidak memahami bahwa poligami pada zaman sekarang ini lebih dibutuhkan dari pada zaman dahulu, karena saat ini jumlah wanita sangat banyak, juga banyaknya fitnah sehingga wanita butuh untuk bisa menjaga kemaluannya.
Hindarilah Debat ala Bizantium (Debat Kusir)
Maksudnya adalah debat kusir, yang tidak menghasilkan apa-apa. Dulu orang-orang Bizantium memperdebatkan tentang jenis mlaikat, padahal saat itu musuh sudah ada di pintu gerbang negeri mereka, sehingga akhirnya musuh-musuh itu menghancurleburkan mereka. Beginilah sebuah perdebatan dalam urusan yang sepele menjadikan mereka tidak bisa mendapatkan jalan petunjuk.
Petunjuk salaf dalam masalah ini adalah menahan diri dari banyak permusuhan dan perdebatan, dan sering melakukannya adalah tanda kurangnya wara’. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hasan al-Bashri tatkala beliau mendengar orang-orang berdebata, “Mereka itu orang-orang yang bosan beribadah, maka mereka menjadi enteng berbicara dan berkurang rasa wara’ mereka, oleh mereka itu mereka selalu berbicara.” [3] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Az-Zuhd dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah.
[3] Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (II/157) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam Az-Zuhd (I/272).
Debat kusir harus dihindari, adapun perdebatan yang bertujuan untuk mencari kebenaran yang didasari dengan sikap saling menghormati dan tidak berlebih-lebihan, maka itu diperintahkan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik …” (An-Nahl: 125).
Perdebatan seperti yang dicontohkan oleh Syaikh di atas yang dilakukan oleh orang-orang Bizantium yaitu perdebatan tentang jenis malaikat adalah sesuatu yang tidak akan menghasilkan apa-apa. Karena, pertanyaan itu di luar batas kemampuan akal kita. Kita hanya mengetahui dari apa yang telah diberi tahu oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti malaikat tercipta dari cahaya, mereka memiliki tubuh dan sayap, mereka juga bisa naik dan turun.
Termasuk perdebatan ini adalah seperti yang dilakukan oleh ahli kalam, yaitu perdebatan mereka tentang berbagai masalah aqidah. Misalnya, apakah kalam Allah itu sifat fi’liyah atau dzatiyah? Apakah kalam Allah itu baru atau qadim? Apakah Allah turun ke langit dunia itu secara hakikat ataukah hanya kiasan? Apakah jari-jari Allah itu hakikat ataukah sekadar kiasan? Dan seterusnya. Wahai ikhwah sekalian, sesungguhnya pembahasan semacam ini hanya akan mengeraskan hati dan akan menghilangkan keagungan dan kemuliaan Allah dari hatinya. Sangat disayangkan kalau ada yang membahas sifat Allah seakan-akan dia sedang membahas jasad yang mati, subhanallah! Padahal, sebelumnya kalau dia mendengar nama Allah akan merinding bulu kuduknya karena mengingat keagungan dan kemuliaan-Nya.
Semua perdebatan semacam ini tidak ada manfaatnya, tirulah para sahabat yang tidak mempertanyakan hal-hal semacam ini, karena apabila mereka menanyakan dan membahasnya hanya akan berakibat kerasnya hati. Namun, jika nama Allah masih agung dan mulia di dalam hatimu dan engkau tidak membahas masalah-masalah tersebut, maka ini akan menjadikan-Nya lebih Agung dan Mulia. Perhatikanlah hal ini karena inilah sebuah kebenaran.
Tidak Ada Kelompok Tidak juga Partai yang Dapat Dipersembahkan Wala’ dan Bara’ Kepadanya
Identitas seorang muslim adalah taat dan takwa kepada Allah Ta’ala dan cinta perdamaian, wahai para penuntut ilmu, semoga Allah memberikan berakah pada diri dan ilmumu, tuntutlah ilmu dan amalkanlah, kemudian dakwahkanlah sesuai dengan cara para ulama salaf.
Janganlah engkau suka keluar masuk pada berbagai jama’ah, karena berarti engkau akan keluar dari tempat yang lapang menuju sebuah tempat yang sangat sempit, semua yang ada dalam Islam adalah merupakan manhaj hidup, kaum muslimin adalah satu jama’ah, sedangkan tangan Allah berserta jama’ah. Dalam Islam tidak dikenal sistem fanatik golongan. Saya berlindung kepada Allah dan saya berdoa kepada-Nya agar jangan sampai kalian berpecah-belah, sehingga kalian akan menjadi mangsa berbagai kelompok, golongan, dan madzhab-madzhab bathil, yang mana dengan semua itu engkau memasang bendera wala’ dan bara’.
Jadilah seorang pelajar muslim yang sesungguhnya, yang mengikuti atsar dan meneladani sunnah, berdakwah atas dasar bashirah ilmu dengan tetap mengakui keutamaan para ulama yang terdahulu. Karena, fanatik golongan ini punya sistem dan cara tersendiri yang belum pernah dikenal oleh para ulama salaf, yang mana ini adalah penghalang terbesar dari menuntut ilmu serta mampu memecah-belah dari persatuan umat Islam. Sudah berapa banyak fanatik golongan ini mampu melemahkan kekuatan dan persatuan umat Islam? Serta menjadikan banyak kesengsaraan bagi kaum muslimin? Oleh karana itu, hati-hatilah dari fanatik golongan yang sudah banyak kejahatan dan keburukannya. Berbagai golongan itu tidak ada bedanya dengan paralon saluran air yang hanya bisa mengumpulkan air kotor lalu membuangnya begitu saja, kecuali hanya orang yang dirahmati oleh Allah sajalah yang bisa tetap berpegang teguh dengan manhaj Rasulullah dan para sahabatnya.
Imam Ibnul Qayyim tatkala menerangkan tentang ciri-ciri orang yang ahli ibadah berkata, “Ciri yang kedua bahwasannya mereka tidak menisbatkan diri dengan sebuah nama tertentu. Maksudnya tidaklah mereka dikenal oleh masyarakat dengan sebuah nama tertentu, yang sudah menjadi lambang bagi ahli thariqat shufiyyah. Juga, termasuk ciri mereka adalah tidak terikat dengan amal perbuatan tertentu yang akhirnya mereka akan dikenal dengan amal perbuatan tersebut. Karena, ini semua adalah sebuah cacat dalam beribadah dikarenakan ibadah itu hanya bersifat sektoral.
Adapun orang yang melakukan ibadah secara universal, maka dia tidak akan pernah dikenal dengan amal salah satu ibadah sjaa, karena dia memenuhi panggilan semua bentuk ibdah. Dia bisa memberikan sumbangsih pada semua sektor ibadah. Dia tidak terikat dengan simbol dan lambang nama, baju, sistem, dan cara tertentu. Bahkan, kalau ditanya tentang siapa gurunya? Dia menjawab, “Rasulullah saw.” Tentang manhajnya? Dia menjawab, “Ittiba’, mengikuti jejak Rasulullan.” Tentang pakaiannya? Dia menjawab, “Pakaian ketakwaan.” Tentang madzhabnya? Dia menjawab, “Menghukumi dengan sunnah Rasulullah.” Tentang tujuan dan harapannya? Dia menjawab, “Menginginkan wajah Allah.” Tentang perjuangannya? Dia menjawab, “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat ….” (An-Nur: 36-37). Tentang nasabnya? Dia menjawab, “Bapak saya adalah Islam, saya tidak mempunyai bapak yang lain. Saat orang-orang membanggakan sebagai keturunan Bani Qais dan Bani Tamim.” Tentang makanan dan minumannya? Dia menjawab, “Apa urusanmu dengan dia?” Dia memiliki sepatu dan tempat minumnya, dia bisa minum air dan memakan rumput sampai akhirnya akan bertemu dengan pemiliknya:
Alangkah meruginya apabila umur telah habis.
Dan waktu telah pergi antara hinanya kelemahan dan kemalasan.
Padahal, orang lain telah menempuh jalan keselamatan.
Dan mereka secara perlahan telah menuju pada cita-cita yang tinggi.
Kemudian beliau berkata, “Merekalah simpanan Allah di mana pun mereka berada.” Simpanan seorang raja adalah sesuatu yang disembunyikannya sendiri untuk keperluannya saja dan tidak pernah diberikan kepada orang lain. Demikian juga simpanan seseorang adalah sesuatu yang disimpan untuk keperluan dan hajatnya pribadi. Ahli ibadah yang universal tadi tatkala tertutupi dari pandangan orang lain, mereka tidak dipandang penting, mereka juga tidak menisbatkan diri dengan nama, madzhab, guru, dan baju tertentu, maka merekalah simpanan Allah yang tertutup rapat.
Mereka adalah makhluk yang paling jauh dari malapetaka, karena sering kali malapetaka itu terjadi karena terkait dengan simbol tertentu, dengan mengikat diri dengan cara tersebut. Itulah yang bisa memutus hubungan dengan Allah tanpa mereka sadari. Anehnya, merekalah yang biasa disebut dengan ahli ibadah, padahal merekalah orang yang terputus hubungannya dengan Allah dengan sebab keterkaitan mereka dengan semua itu. Seorang ulama pernah ditanya tentang (nama lain dari) sunnah. Maka, beliau menjawab, “Tidak mempunyai nama lain, kecuali As-Sunnah.” Maksudnya bahwa Ahlus Sunnah tidaklah mempunyai nama lain yang mereka menisbatkan diri kepadanya melainkan hanya As-Sunnah.
Sebagian orang ada yang terikat dengan cara berpakaian orang lain, ada lagi yang duduk di sebuah tempat yang tidak mungkin ia duduk pada tempat lainnya, ada yang berjalan dengan cara tertentu yang ia tidaka akan berjalan dengan cara lain atau dalam hal pakaian dengan cara khusus atau juga menjalankan ibadah tertentu yang ia tidak akan melakukan ibadah lainnya meskipun lebih tinggi derajatnya, juga ada yang terikat dengan guru tertentu yang mana ia tidak akan pernah belajar kepada yang lainnya, meskipun guru lain itu lebih dekat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka semua terhalang untuk mendapatkan tujuan tertinggi, mereka telah terikat dengan adat, sistem, keadaan, istilah-istilah tertentu yang menghalangi mereka dari ittiba’ secara murni, maka mereka pun meninggalkannya. Kedudukan mereka paling jauh dari ittiba’. Engkau akan melihat sebagian di antara mereka beribadah kepada Allah dengan cara riyadhah, menyendiri dan mengosongkan hati. Orang ini menganggap bahwa menuntut ilmu akan memutus jalan beribadah. Apabila disampaikan kepadanya tentang mencintai karena Allah dan memusuhi karena Allah, memerintahkan berbuat kebaikan dan melarang berbuat kemunkaran, dia akan menganggap ini sebagai sesuatu yang jelek. Apabila ada di antara anggota mereka yang melakukannya, maka akan segera dikeluarkan dari kelompok mereka. Mereka adalah orang yang paling jauh dari Allah meskipun yang paling dianggap dekat.
Ini adalah pembahasan yang penting, yaitu masalah hendaknya seorang penuntut ilmu terbebas dari fanatisme kelompok dan golongan, yang akan mempersembahkan wala’ dan bara’ terhadapnya. Hal ini tanpa diragukan lagi adalah menyelisihi madzhab salaf, karena para ulama salaf yang shaleh tidak memiliki fanatisme golongan, semuanya hanya ada satu kelompok, yaitu yang disebut oleh Allah dalam firman-Nya, “…. Dia (Allah telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu ….” (Al-Hajj: 78). Tidak boleh ada fanatisme golongan, wala’ dan bara’ kecuali yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sebagian orang ada yang fanatik pada kelompok tertentu, dia telah menetapkan manhaj kelompoknya, lalu mencari-cari dalil untuk mendukung pendapatnya, yang malahan dalil itu membantah pendapatnya sendiri, dia menyesatkan orang yang tidak masuk dalam kelompoknya, orang semacam ini membuat sebuah kaidah: “Barang siapa tidak masuk kelompoknya berarti musuhnya.”
Pendapat ini sangat jelek, karena ada orang yang tidak masuk dalam kelompokmu namun dia juga bukan musuhmu, juga kalau ia adalah lawanmu dalam mencari kebenaran, maka sebenarnya dia adalah kawanmu, berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Tolonglah saudaramu, baik dia menzalimi ataupun yang dizalimi.” (HR Bukhari).
Tidak ada fanatisme golongan dalam Islam. Oleh karena itu, tatkala muncul kelompok dan golongan dalam tubuh umat Islam, maka umat pun berpecah-belah dan muncul berbagai macam cara dan sistem yang berbeda, yang akhirnya sebagian mereka menyesatkan sebagian yang lainnya dan memakan daging saudaranya.
Sebgai sebuah contoh saat ini ada sebagian pelajar yang berguru pada salah seorang syaikh, lalu orang ini membela gurunya, baik dia benar atau salah, adapun guru lainnya disesatkan dan dibid’ahkan. Dia berpendapat bahwa hanya gurunyalah yang berbuat kebaikan adapun yang lainnya mungkin orang bodoh atau orang yang suka berbuat kerusakan. Ini adalah sebuah kesalahan besar. Ambil kebenaran dari mana pun datangnya, dan apabila engkau tertarik pada salah seorang guru, maka belajarlah padanya, namun ini bukan berarti engkau membelanya, baik benar maupun salah, juga bukan berarti engkau menyesatkan dan melecehkan yang lain.
Hal-Hal yang Merusak Adab-Adab Ini
Wahai saudaraku … semoga Allah menjaga kita semua dari kesalahan …. Apabila engkau membaca adab pelajar muslim ini dan engkau juga telah mengetahui sebagian dari perangai yang merusaknya, maka ketahuilah bahwa perkara yang paling merusak adab ini adalah:
- Menyebarkan rahasia.
- Menyitir ucapan suatu kaum, lalu disampaikan kepada kaum yang lain.
- Kasar dan berlebihan dalam ucapan maupun perbuatan.
- Banyak bersenda gurau.
- Ikut campur urusan orang lain.
- Dengki.
- Hasad (iri).
- Berburuk sangka.
- Duduk bersama ahli bid’ah.
- Berjalan menuju tempat yang haram.
Jauhilah semua perbuatan tercela ini dan perbuatan-perbuatan yang semisalnya, dan janganlah engkau melangkahkan kaki menuju ke tempat yang terlarang, jika engkau melanggar ini, maka berarti engkau orang yang lemah agama, tidak berbobot, tukang main-main, ahli ghibah (mengumpat) dan ahli namimah (adu domba), lalu bagaimana mungkin engkau bisa menjadi seorang pelajar yang handal yang mempunyai ilmu serta mampu mengamalkannya?
Semoga Allah meluruskan langkah-langkah kita, dan semoga Dia menganugerahkan semuanya dengan ketakwaan dan kebaikan dunia dan akhirat. Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada nabi kita, Muhammad saw., keluarga dan sahabat beliau.
Bakr bin ‘Abdullah Abu Zaid
25/10/1408 H
Sumber: Diringkas dari Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu, terj. Ahmad Sabiq, Lc, editor isi Abu ‘Azzam (Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2005); judul asli: Syarah Hilyah Thaalibil ‘Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (Maktabah Nurul Huda, 2003).
Oleh: Abu Annisa
Lebih baik diam daripada menebar ilmu yang tidak kita yakini kebenarannya (esp : tauhid)